Ketentuan Multiple License Bank Dan Loan To Value (LTV)

  1. I.             KETENTUAN MULTIPLE LICENSE BANK

 

PENDAHULUAN

Bank Indonesia melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 14/26/PBI/2012 dan Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) No. 15/7/DPNP mulai memberlakukan kebijakan multiple license (izin berjenjang) bagi industri perbankan Indonesia. Multiple license merupakan pemberian izin operasi kepada bank di wilayah suatu negara melalui proses lisensi lebih dari satu, dimana pemberian izin dikaitkan dengan operasional dan persyaratan administratif. Penerbitan produk perbankan akan dibatasi sesuai dengan tingkat kesehatan dan kekuatan modal yang dimiliki untuk bisa memperoleh izin melakukan ekspansi bisnis, seperti misalnya menambah kantor cabang. BI membagi empat strata industri perbankan berdasarkan modal inti untuk melaksanakan kegiatan usaha :

  1. Kelompok kegiatan usaha 1 adalah yang memiliki modal inti mulai dari Rp 100 miliar hingga dibawah Rp 1 triliun
  2. Kelompok kedua adalah dengan modal inti Rp 1 triliun hingga dibawah Rp 5 triliun
  3. Kelompok ketiga akan memiliki modal inti antara Rp 5 triliun hingga Rp 30 triliun
  4. Terakhir kelompok kegiatan usaha 4 dengan modal inti diatas Rp 30 triliun

 

Pembagian berdasarkan modal inti ini akan menjadi dasar bagi perbankan dalam melakukan kegiatan usaha dan berekspansi seperti penyertaan modal ke anak usaha atau pun perluasan jaringan kantor. Sebagai contoh, untuk bank dengan modal inti di kategori 1 hanya bisa melakukan bisnis sebagai money changer dan kegiatan biasa seperti giro, tabungan atau kredit. Sedangkan bank dengan modal inti kategori 4 memiliki kelengkapan kegiatan seperti menjadi bank devisa dan bahkan dapat disiapkan menjadi ASEAN Qualified Banks.

Jika terdapat bank yang sudah memiliki jenis kegiatan di kelompok 2 namun dari modal inti ada di kelompok 1, maka akan diberi pilihan untuk meningkatkan modal inti ke kelompok 2 dan tetap menjalankan kegiatan di level tersebut. Tapi kalau tidak mau meningkatkan modal maka kegiatan usahanya yang akan disesuaikan. Kedepannya jika ada bank yang mendirikan tiga kantor cabang di zona 1 dan 2 maka wajib mendirikan satu kantor cabang di zona 5 dan 6. BI sendiri telah membagi  6 zona wilayah di Indonesia.

 

Berikut merupakan pembagian zona perbankan dalam kebijakan multiple license:

Zona Modal Inti

Zona Modal Inti

Pembagian zona ditetapkan berdasarkan analisis tingkat kejenuhan bank dan pemerataan pembangunan dalam masing-masing zona, antara lain menggunakan parameter pertumbuhan PDB, pertumbuhan PDRB, kinerja penyaluran dan penghimpunan dana yang dikaitkan dengan populasi di setiap provinsi. Kebijakan BI ini di satu sisi akan melindungi bank-bank pembangunan daerah (BPD) karena tidak semua bank bisa ekspansi ke daerah.

 

KEY ISSUE

Bagaimanakah pengaruh dari penerapan aturan Multiple License terhadap pertumbuhan perekonomian Indonesia dalam jangka panjang?

 

ANALISA

Tujuan penerapan aturan multi-license adalah untuk mendukung ekonomi masyarakat dan pemerataan jasa industri perbankan di Tanah Air. Kebijakan tersebut dilatarbelakangi oleh tantangan yang dihadapi perbankan Indonesia, antara lain:

  1. Kontribusi perbankan terhadap perekonomian Indonesia yang masih perlu dioptimalkan untuk mendukung pemerataan pembangunan di Indonesia secara geografis, pembiayaan UMKM, serta pembiayaan sektor prioritas (MP3EI). Saat ini jaringan perbankan di luar Pulau Jawa dan Bali masih terbatas dan terjadi konsentrasi jaringan perbankan pada wilayah-wilayah tertentu. Rasio kredit terhadap GDP Indonesia tahun 2011 baru sebesar 38,5 persen. Nilai ini jauh tertinggal bila dibandingkan dengan negara-negara ASEAN5 yaitu Singapura (93,6 persen), Malaysia (128,7 persen), Thailand (159,0 persen), dan Filipina (51,8 persen) (Worldbank, 2013).
  2. Perlunya peningkatan efisiensi perbankan untuk meningkatkan daya saing termasuk pembiayaan dengan suku bunga yang lebih kompetitif.
  3. Peningkatan efisiensi dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN yang mulai diberlakukan pada tahun 2015 dan untuk sektor perbankan mulai diberlakukan pada 2020.
  4. Adanya ketidaksetaraan dalam hal pembukaan kantor cabang di Indonesia dan di negara-negara ASEAN5.
  5. Konsentrasi aset perbankan pada sejumlah kecil bank. Lima belas bank besar menguasai 71 persen aset perbankan nasional, sementara 70 bank kecil hanya menguasai 6 persen pangsa pasar (BI, 2012).
  6. Meningkatnya kompleksitas produk dan aktivitas perbankan.

 

Aturan izin berlapis ini akan mendorong perbankan memperluas jangkauannya tidak hanya ke daerah-daerah yang menguntungkan dari segi bisnis. Selain itu, aturan multiple license akan memicu bank agar lebih efisien dan meningkatkan daya saingnya. Sehingga, diharapkan akan tercipta tata kelola perusahaan yang baik, tanpa merugikan pemegang saham bahkan nasabahnya.

 

KESIMPULAN

Penerapan Multiple License dalam jangka panjang akan sangat mendukung pertumbuhan industri perbankan dan perekonomian nasional. Aturan ini akan memberikan dampak terhadap hal-hal sebagai berikut:

  • Membuka peluang bank-bank kecil untuk diakusisi oleh bank-bank yang lebih besar, termasuk oleh bank asing
  • Mendorong terciptanya kompetisi di industri keuangan, sehingga persaingan antar-bank menjadi lebih terbuka dan sehat
  • Sektor keuangan tidak akan tersentralisasi hanya pada suatu daerah atau kota tertentu saja.

 

REKOMENDASI

  • Sebaiknya BI memberikan insentif kepada bank-bank kecil untuk dapat mengembangkan usahanya, sehingga terjadi persaingan yang lebih proporsional (bank besar dapat lebih fokus untuk mengembangkan usaha ke level regional dan bank kecil dapat berkembang lebih besar lagi)
  • BI sebaiknya menentukan masa transisi yang cukup bagi bank asing untuk menerapkan aturan baru ini, karena bank-bank asing yang terlanjur membuka banyak cabang di Indonesia membutuhkan waktu yang cukup untuk berkoordinasi dengan kantor pusat di Negara lain.

 

  1. II.          KETENTUAN LOAN TO VALUE (LTV)

PENDAHULUAN

Dalam rangka meningkatkan aspek kehati-hatian bank dalam penyaluran kredit terkait properti maka dibentuk ketentuan mengenai Loan To Value (LTV) yang dikemas menjadi Surat Edaran (SE) BI No. 15/40/DKMP tentang Penerapan Manajemen Risiko Pada Bank Yang Melakukan Pemberian Kredit Atau Pembiayaan Konsumsi Beragun Properti Dan Kredit Atau Pembiayaan Konsumsi Beragun Properti Dan Kredit Atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor ini berdampak positif bagi harga properti (tanah).

Saat ini Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) tumbuh diatas rata-rata kredit, hal ini dapat mendorong peningkatan harga aset properti yang tidak mencerminkan harga sebenarnya (bubble) sehingga dapat meningkatkan Risiko Kredit bagi bank-bank dengan eksposur kredit properti yang besar. Dengan adanya penentuan syarat LTV ini diharapkan dapat mengurangi laju pertumbuhan KPR sehingga diharapkan dapat menahan terjadinya bubble  harga property. Di sisi lain, ketentuan LTV juga bertujuan untuk memberikan kesempatan yang lebih besar bagi masyarakat berpenghasilan menengah-bawah untuk memperoleh rumah layak huni serta meningkatkan aspek perlindungan konsumen di sektor properti. Ketentuan ini dikecualikan bagi kredit/pembiayaan dalam rangka program perumahan Pemerintah Pusat maupun Daerah. Bubble  properti dapat memicu terjadinya resesi ekonomi yang dapat mengganggu pertumbuhan ekonomi negara, sehingga hal ini perlu dikendalikan.

Dalam aturan disebutkan, untuk pembiayaan di perbankan konvensional, kredit rumah pertama tipe 70 meter ke atas akan dikenakan LTV maksimal 70 persen, rumah kedua 60 persen, rumah ketiga dan seterusnya 50 persen. Jadi, konsumen yang ingin membeli rumah kedua dan ketiga wajib menyetor uang muka (DP) sebesar 30% dan 40% dari nilai harga jual. Ketentuan serupa juga berlaku untuk Kredit Pemilikan Rumah Susun (KPRS) tipe 70 meter persegi ke atas.

Bank Indonesia (BI) dalam menetapkan besarnya LTV menggunakan acuan ukuran luas rumah dan tidak menggunakan harga nominal, selain karena adanya disparitas harga di masing-masing wilayah, acuan penggunaan harga nominal memerlukan pengkinian harga dari waktu ke waktu, sehingga proses monitoring dan upaya penegakkan kebijakan menjadi tidak efisien.

 

KEY ISSUE

Efektifkah aturan Loan To Value (LTV) dalam mengendalikan bubble harga property?

 

ANALISA

Kenaikan harga properti dapat disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut:

  1. Meningkatnya permintaan akan properti, sementara supply yang ada terbatas.
  2. Kenaikan harga bahan baku dan tanah
  3. Aksi spekulasi dari para investor, yaitu anggapan bahwa harga properti akan selalu naik dalam jangka panjang.

Dengan adanya kewajiban memberikan self financing  (DP) minimal 30% untuk KPR, diharapkan akan menurunkan tingkat permintaan properti oleh membuat pihak yang ingin berspekulasi, sedangkan pihak-pihak yang bersungguh-sungguh membutuhkan properti akan tetap berusaha membeli properti atau beralih ke properti dengan tipe yang lebih kecil. Ketentuan ini akan menjadi screening mechanism bagi nasabah potensial yang benar-benar membutuhkan properti, karena kecenderungannya pembeli dengan tujuan spekulasi lebih mengandalkan kredit dari bank dengan DP yang kecil, sehingga pihak bank menanggung resiko yang besar. Konsumen juga akan mempertimbangkan ulang apabila akan membeli rumah, terkait peraturan DP yang lebih tinggi pada kredit properti rumah kedua, ketiga dan seterusnya.

Kendala dalam acuan penetapan LTV berdasarkan luasan rumah dibandingkan menggunakan komponen harga antara lain terdapatnya lonjakan harga rumah sederhana yang beragam di beberapa wilayah akibat kenaikan harga tanah.

Dengan penerapan aturan LTV ini tentunya berdampak pada menurunnya daya beli konsumen terhadap properti.

 

KESIMPULAN

Meskipun peraturan LTV masih bersifat procyclical akibat dari speculative excess dan sistem appraisal yang kurang mendukung, namun cukup efektif dalam mengendalikan laju harga properti. Dengan adanya kebijakan LTV ini pada akhirnya akan berpengaruh terhadap pergeseran motif pembelian dari spekulasi ke pasar investasi jangka panjang atau end user.

Aturan LTV ini memiliki dampak terhadap perlambatan pertumbuhan properti tipe besar dan komersial, karena membutuhkan share yang cukup besar dalam hal uang muka. Akibatnya para pengembang perumahan akan mengubah pembangunan properti mereka ke tipe properti yang menengah dan kecil, yang pada akhirnya dapat dijangkau oleh kalangan masyarakat ekonomi menengah.

 

 

REKOMENDASI

Sebaiknya BI melengkapi LTV dengan aturan Loan To Income (LTI) Ratio. Jadi konsumen ketika akan mengajukan kredit pemilikan rumah, harus membuktikan pendapatan mereka, karena pendapatan lebih susah untuk dimanipulasi sehingga lebih relevan untuk digunakan sebagai acuan. Praktek ini pada akhirnya akan meningkatkan perlindungan konsumen terhadap tindakan berhutang yang berlebihan dan berdampak baik bagi stabilitas sistem keuangan.

Sebaiknya ketentuan mengenai LTV terus menerus disesuaikan dari waktu ke waktu sesuai dengan kondisi perekonomian serta perkembangan industri perbankan secara keseluruhan.

Leave a comment